Pancing Dilempar, Bauksit yang Dapat

Ketika Kapal Bauksit Mengancam Kehidupan Nelayan Pangkil
Nelayan di Pulau Pangkil Bintan menjerit. Seakan tak ada lagi tempat bagi mereka mencari hasil laut akibat penetapan lokasi labuh jangkar kapal bauksit di perairan itu. Himpitan dan gesekan kapal-kapal raksasa yang berlabuh dan melakukan bongkar muat batu bauksit di tempat itu, banyak merusak dan membuat suram kehidupan nelayan.
Tempat memikat dan mengelabui ikan yang dinamai rompong dan turus tak pernah bertahan lama. Terus terseret kapal. Kerapu mati lemas tertuba limbah hitam yang pernah mencemari.

Yang paling menyedihkan, tak ada lagi bayangan nelayan bagaimana lubuk udang dan ikan yang dahulunya berlimpah. Kini malah jadi lubuk yang menakutkan. Andai saja bisa memilih, satu ungkapan yang akan dilontarkan nelayan terhadap keadaan ini, “jangan tempatkan kapal raksasa itu di lumbung kami”.

Tapi apa daya, pemerintah telah menetapkan perairan itu sebagai lokasi labuh jangkar empat tahun terakhir. Ironisnya, nelayan hanya menjadi penonton dan pihak yang dikorbankan situasi ini.

Di sisi lain, kompensasi yang seharusnya menjadi hak mereka, hanya membuat miris semua orang yang mendengarnya. Uang kompensasi hanya senilai Rp5 ribu dari setiap kapal berbobot 90 ribu ton dan membawa batu kuning bernilai miliaran rupiah.

Unjuk rasa, itulah akhirnya satu cara melampiaskan kekesalan dan kemarahan nelayan terhadap keadaan itu. Hingga, pada 29 November lalu, aksi penghadangan kapal dan pengusiran terjadi di tengah laut.

Pancing Rawai Tersangkut Bauksit

Desa Pangkil merupakan satu daerah pulau di Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan yang dihuni 405 KK. Penduduknya 95 persen menggantungkan hidup sebagai nelayan. Melaut malam hari dan kemudian menjualkan hasil yang didapat menjadi kebiasaan nelayan Pangkil.

Ketika nasib mujur dan mendapat hasil melaut yang cukup, ikan, udang atau sotong akan langsung dijual dengan menitipkannya ke warga yang kebetulan berbelanja ke Pasar Tanjungpinang. Beruntung, sejak 2005 lalu, akses warga ke Tanjungpinang semakin mudah dengan adanya kapal bantuan pemerintah dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dinamai warga “kapal sikompak”.

Dulu, sebelum ada kapal ini, transportasi warga hanya berupa pompong kecil milik sendiri. Kapal ini sengaja dijadikan angkutan umum yang berangkat setiap hari untuk membantu warga yang ingin berbelanja atau menjualkan hasil laut ke Tanjungpinang. Hanya, jika berangkat dari Tanjungpinang ke Pangkil, terpaksa harus menginap satu malam, karena kapal untuk pulang cuma ada esok harinya.

Pulau Pangkil ke Tanjungpinang sebenarnya bukan jarak yang jauh. Hanya, untuk menempuh perjalanan kesana tidak bisa dilalui dengan jalan darat. Ongkos sekali jalan dengan naik “kapal sikompak” hanya sebesar Rp7 ribu dengan waktu perjalanan satu jam.

Warga Pangkil sendiri lebih memilih berbelanja dan menjualkan hasil laut ke Tanjungpinang daripada harus ke Kijang, yang menjadi pusat perekonomian di Kabupaten Bintan. Meski Pulau Pangkil sebenarnya bergabung dengan Kabupaten Bintan secara geografis kedaerahan.

Banyak cerita yang didapatkan Tanjungpinang Pos saat menginap satu malam di rumah penduduk. Intinya, mereka seakan hilang masa depan dengan penetapan perairan mereka sebagai lokasi labuh jangkar. Belum lagi, kadang kisah pedih saat melaut pun masih terbayang-bayang di benak mereka.

Pernah beberapa kali, saat memancing rawai (pancing dengan mata kail berseri, red) hasil yang nyangkut di mata kail malah batu bauksit. Seolah lucu, sedih, dan ingin berteriak marah saat itu. Ikan yang diharapkan terpancing ke mata kail, malah batu bauksit yang didapatkan.

“Saya sendiri yang mancing waktu itu. Terasa berat talinya saat ditarik, ternyata bauksit yang nyangkut,” kata Acan, seorang nelayan.

Lintasan kapal yang tidak ada rambu dan jalur khusus juga menjadi keluhan nelayan. Bahkan, beberapa nelayan mengaku hampir tertabrak kapal saat menunggu waktu penarikan jaring di tengah laut. Terlebih malam hari. Acan misalkan, sempat nyaris terseret kapal tongkang karena mempertahankan jaring yang sedang terbentang di laut.

“Kalau saya tak melepas jaring, sudahlah. Sampai besi tongkang itu sudah bisa saya pegang,” kenang Acan.

Ombak yang besar dan terus mengombag-ambing pompong yang dinaikinya pun membuat getir waktu itu. Beruntung tidak terjadi sesuatu dan ia tetap tiba di rumah dengan selamat.

Yang paling parah, ada tiga lokasi perairan yang dikenal nelayan sebagai lubuk udang di musim angin utara kini menjadi lokasi yang menakutkan. Yakni lubuk 86, Perairan Mubut dan Karang Batak. Struktur dasar lautnya dipastikan nelayan sudah berubah, dari dulunya berupa pasir halus menjadi tumpukan batu-batu bauksit yang menyerupai karang. Akibatnya, jaring pun tak bisa lagi didekatkan.

“Apa gunanya kita kesitu. Kalau kesitu, jaring nyangkut dan terpaksa dilepas. Padahal, harga jaring sampai Rp600-an ribu,” tambah Amran, ketua rukun nelayan di desa itu.

Konon nama lokasi Lubuk 86 muncul karena ada seorang nelayan yang mendapatkan udang mencapai 86 kilogram ketika itu. Sejak itu pula, nelayan terbiasa menyebut lokasi itu Lubuk 86.

Kenapa banyak bauksit di tengah laut? Cerita nelayan, kapal tongkang berisi bauksit memang pernah tumpah di lokasi itu saat akan dimuat ke kapal induk untuk dilakukan ekspor. Saat itu angin puting beliung memutar di tengah laut, hingga menelungkupkan tongkang pengangkut. Itulah yang membuat batu bauksit bertebaran di dasar laut. Tapi bauksit tumpah ini mendapat bantahan dari pengelola labuh jangkar.

“Tak pernah kita dengar kapal bauksit tumpah. Tak mungkin muatan sebanyak itu tak dimasalahkan, pasti ada klaim kalau memang tumpah,” kata Dodi Komara, General Manager PT Bahtera Adhiguna, satu agen pelayaran yang mengelola labuh jangkar Pangkil saat dikonfirmasi.

Namun, seorang sumber yang pernah bekerja di perusahaan itu kepada Tanjungpinang Pos membenarkan banyaknya batu bauksit di dasar laut. Ia mengakui, banyak ulah awak kapal yang tidak peduli lingkungan dengan membuang sampah sembarangan ke tengah laut. Kadang, bangkai besi dari kapal yang dianggap tidak berguna pun dibuang begitu saja ke laut.

“Setelah muatan bauksit dibongkar, tongkang kan langsung dibersihkan. Sisa-sisa batu bauksit yang ada di pinggir tongkang itu pun main buang aja ke laut,” papar pria ini, enggan dikorankan namanya.

Terlepas dari itu, kemungkinan jatuhnya bauksit ke dasar laut juga tidak terbantahkan. Proses pemindahan muatan dari tongkang ke kapal induk yang menggunakan kren “cengkram” cukup membuktikan adanya batu bauksit terjatuh ke laut. Ibarat tangan mencengkram tanah, pasti saja ada yang jatuh ke bawah.

Sebaliknya, dengan situasi seperti itu, kompensasi yang didapatkan nelayan membuat miris mendengarnya, karena dari satu kapal bertonase ratusan ribu ton itu hanya dibayar Rp3,5 juta. Akhirnya, setelah dipisahkan uang untuk penggantian peralatan tangkap yang rusak, setiap KK hanya menerima Rp5 ribu.

Limbah Hitam Nelayan pun mengingatkan lagi kejadian Agustus 2010 lalu. Saat itu pencemaran laut sempat terjadi dan menyisakan kerugian bagi nelayan. Limbah hitam yang diyakini buangan oli dari kapal sempat mengotori alat tangkap nelayan dan membuat ikan menjauh.

Yang paling menyedihkan, sebanyak 1500-an ekor ikan kerapu budidaya mati di kerambah. Budidaya kerapu ini merupakan program Pemerintah Kabupaten Bintan dengan tujuan untuk mengubah kebiasaan nelayan yang hanya mengandalkan melaut untuk menjadi nelayan budidaya.

Akhirnya, semangat budidaya nelayan yang sudah tumbuh pun sempat hilang. Perhatian dari pemerintah daerah memang sempat ada waktu itu. Pejabat perikanan Bintan dan Bupati Bintan Ansar Ahmad dengan satu rombongan khusus turun ke lokasi.

“Labuh jangkar itu memang harus diusir. Itu sudah merusak lingkungan laut. Semua rusak, bahkan budidaya yang digalakkan pemerintah pun rusak,” ujar Zufrin Juniwal, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan saat dikonfirmasi.

Program pembudidayaan ikan kerapu sudah berjalan tiga tahun, sejak 2007 lalu, yang tentunya sudah banyak tergerus uang daerah kesana. Bahkan, 2010 saja, dana Rp500 juta digelontorkan untuk proyek itu, dengan harapan ada perubahan secara perlahan mindset nelayan.

Pangkil Pulau Kerapu pun nyaris tinggal nama. Beruntung tidak semua ikan mati dan diyakini masih ada sisa-sisa yang sanggup bertahan, meski harus memulai lagi pemeliharaan dari awal. Padahal, harga bibit awal saja saat dibelikan mencapai harga Rp7 ribu perekor.

Pemkab Bintan tidak diam menyikapi masalah ini. Bahkan, pejabat Bintan sudah ramai-ramai mengatakan labuh jangkar di perairan Pangkil harus dipindahkan. Apalagi penetapan perairan sebagai lokasi labuh jangkar oleh Dirjen Hubla melalui Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjungpinang ternyata tidak mendapat rekomendasi dari bupati.

Rebutan Lahan “Parkir Laut”

Demo nelayan Pangkil ini seakan meledakkan “bom waktu” persoalan labuh jangkar di Perairan Pangkil. Sebenarnya, sudah lama persoalan labuh jangkar ini muncul, namun tidak begitu bergejolak ke permukaan karena belum melibatkan nelayan.

Gejolak nelayan ini pun menjadi pertanda dimulainya “perang terbuka” antara Pemerintah Kabupaten Bintan dengan Adpel Tanjungpinang. Sampai-sampai, ada pernyataan Kepala Adpel Tanjungpinang, seakan tidak menerima sikap pasif pemerintah daerah dan membiarkan warga berhadapan dengan instansi yang dipimpinnya.

“Sebenarnya, masyarakat Pangkil ini warga siapa? Siapa yang harusnya menyelesaikan kalau ada gejolak seperti ini?,” kata Rahmatullah, Kepala Adpel Tanjungpinang kepada Tanjungpinang Pos.

“Mereka bukan masyarakat pelayaran kan? Kalau masyarakat pelayaran, okelah tanggungjawab kami menanganinya,” tambah Rahmatullah.

Memang untuk pembahasan kompensasi ini, Pemerintah Kabupaten Bintan tidak banyak mengambil peran. Apalagi, dalam beberapa kali perundingan di Kantor Adpel Tanjungpinang, pejabat terkait di Kabupaten Bintan juga tidak diundang dan dilibatkan.

Bupati Bintan, Ansar Ahmad sendiri saat dikonfirmasi mengenai masalah ini lebih banyak menekankan tidak adanya rekomendasi dari pemerintah daerah terkait labuh jangkar itu. Bahkan, lokasi labuh jangkar ini disebutkan juga sudah dilirik pemerintah daerah untuk menjadi satu sektor usaha PT Bintan Inti Sukses (BIS) yang merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) Bintan.

“Dulu kita (PT BIS, red) yang usulkan izin lebih dulu. Kita rekomendasikan dan saat itu didukung menteri. Tapi tak tahu pertimbangannya, kok tiba-tiba dirjen mengeluarkan izin untuk perusahaan lain,” kata Ansar, Minggu (18/12).

Bahkan, Bupati juga bertekad akan menemui langsung Dirjen Hubla sebagai pemberi izin, untuk mengetahui pertimbangan dan alasan diterbitkannya izin untuk perusahaan lain. Pemkab Bintan sudah dua kali menyurati Kementerian Perhubungan terkait labuh jangkar ini.

Tertanggal 22 Januari 2010, Pemkab Bintan melalui surat bupati nomor 5523/ekon/444 menyurati Dirjen Hubla sebagai protes atas penunjukan PT Delta Bias Pratama yang koordinat lokasinya sama dengan pengajuan PT BIS. Namun tidak ada tanggapan. Surat kedua dilayangkan lagi dengan nomor 550/hub/360 tertanggal 15 November 2010, yang intinya menegaskan sudah terjadi pencemaran lingkungan akibat kapal labuh jangkar. Bukti-bukti dan foto pencemaran turut dilampirkan. Namun, lagi-lagi tanggapan dari Kementerian Perhubungan belum ada.

Dirjen Hubla tertanggal 26 Januari 2010 memang menerbitkan izin kepada perusahaan swasta, PT Delta Bias Pratama sesuai nomor keputusan B.XXX.V.50/PU.60. Sementara, disisi lain, PT BIS juga sudah menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) untuk rencana pengelolaan bersama labuh jangkar tersebut. Informasi yang masih simpang siur memang terasa dari masalah labuh jangkar ini.

Bupati Bintan sendiri bersama jajarannya berpandangan, selama ini labuh jangkar yang sudah berjalan dikelola oleh PT Delta Bias Pratama. Dalam surat yang dilayangkan ke Kementerian Perhubungan, gambaran ini pula yang dijadikan pertimbangan. Bahkan, disebutkan, PT Delta Bias Pratama telah melanggar lokasi yang ditentukan, dengan masuk ke alur pelayaran yang kini jadi loading point atau tempat bongkar muat bauksit dari kapal tongkang ke kapal kargo induk.

Namun, dalam kesempatan lain, ada hal yang terungkap belakangan, ternyata perusahaan yang mengelola labuh jangkar dan alih muat bauksit (ship to ship) di perairan Pangkil bukan PT Delta Bias Pratama. Melainkan, dilakukan oleh dua perusahaan berbeda, PT Bahtera Adhiguna (persero) dan PT Admiral Lines yang diakui langsung oleh General Manager PT Bahtera Adhiguna Tanjungpinang, Dodi Komara.

“Kami yang mengelola labuh jangkar. Dan, kami bukan subkon PT Delta Bias. Kita sama-sama punya lokasi yang berbeda,” kata Dodi. Dodi pun sempat menunjukan surat izin yang didapatkan perusahaannya. Yakni, surat izin dengan nomor Uk.III/23/24/Ad.TPI.2007 yang dikeluarkan Adpel Tanjungpinang. Sayang, PT Delta Bias Pratama tidak berhasil dikonfirmasi. Saat didatangi kantor perusahaan ini di Tanjungpinang, yang beralamat di Komplek Pertokoan Bintan Centre Blok D nomor 8, tak tampak lagi aktifitas di kantor ini.

Namun di balik itu, ini pulalah yang makin membuat permasalahan meruncing lagi dan dianggap Adpel Tanjungpinang sebagai juru kunci. Kenapa tidak, kesan yang timbul, Adpel Tanjungpinang terlalu jauh menangani labuh jangkar ini. Padahal, Pemkab Bintan sendiri punya instansi khusus yang bisa menangani lalulintas kelautan di dinas perhubungan dan Badan Promosi dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPIPPT) Bintan untuk mengeluarkan perizinan.

“Sekarang jadi pertanyaan, izin labuh jangkar saja dari dirjen hubla, kok izin STS (ship to ship, red) dari Adpel Tanjungpinang?,” kata Djoko Zakaria, Wakil Ketua DPRD Bintan. “Bagaimana otonomi daerah seperti ini?,” tambha Djoko, sembari mengingatkan pasal 18 ayat (4) UU otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah kabupaten kota mengatur laut sepanjang 4 mil dari daratan. Itulah kini pertanyaan yang belum terjawab.

Sementara, nelayan sudah jadi korban, dengan hanya mendapat kompensasi Rp5 ribu perbulan. Ironisnya, semua berlomba mendapatkan lokasi labuh jangkar di perairan ini karena dekat dengan lokasi pertambangan. Labuh jangkar memang menjanjikan potensi uang yang tidak kecil.

Uang jasa, itulah yang didapatkan perusahaan pengelola labuh jangkar. Tentu, banyak jasa yang diharapkan pelaku pelayaran. Misalkan, penyediaan air bersih, karena air bersih dibutuhkan di tengah laut. Bahkan, menguruskan kru kapal yang sakit pun menjadi tugas perusahaan pengelola labuh jangkar. Tak hanya itu, di samping sebagai pengelola labuh jangkar, satu perusahaan pun biasanya bertindak sebagai perusahaan bongkar muat (PBM). Sebab, alih muatan kapal yang terjadi di tengah laut membutuhkan tenaga bongkar muat tersendiri.

Untuk bongkar muat ini, banyak hasil yang didapatkan satu perusahaan pengelola labuh jangkar. Bayangkan, tarif yang biasa diberlakukan, perton dikenakan biaya bongkar muat senilai Rp1100. Jika satu kapal misalnya mendapat muatan 100 ribu ton, maka uang bongkar muat mencapai Rp110 juta dengan waktu bongkar muat butuh waktu seminggu. Hanya, labuh jangkar di Perairan Pangkil sudah memberikan dampak buruk bagi nelayan.

Bukankah lokasi labuh jangkar di tempat lain, Perairan Pulau Telang Bintan Pesisir misalnya, juga bisa menjadi tempat alih muatan bauksit? Yang mengherankan, Pemkab Bintan sendiri, melalui PT BIS, sempat juga melirik perairan Pangkil untuk lokasi labuh jangkar. Nasibmulah nelayan… (Abdul Rasyid Daulay)

Leave a comment